EKO, ANANTO NURCAHYONO and Adi, Bastian Salam and Muhammad, Darudin (2021) KEDUDUKAN ANAK DI LUAR NIKAH PASCA PUTUSAN MK NO. 46/PUU-VIII/2010 DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM (Studi Perspektif Hakim Pengadilan Agama Kelas 1A Bengkulu). Undergraduated thesis, Universitas Bengkulu.
Text (Thesis)
Skripsi Eko Ananto Nurcahyono.pdf - Bibliography Restricted to Repository staff only Available under License Creative Commons GNU GPL (Software). Download (1MB) |
Abstract
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Perkawinan juga dapat diartikan sebagai pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 2 Sehingga dapat disimpulkan bahwa Perkawinan dapat diartikan dengan sebuah ikatan lahir batin antara dua insan yaitu pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk saling mencintai, menghasilkan keturunan, dan hidup berdampingan secara damai dan sejahtera sesuai dengan perintah Allah Swt dan petunjuk Rasulullah Saw. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt yang terdapat dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum (30) ayat 21, Allah berfirman: تِهِ ۡۡ وَمِن َٰ ايَ ا وَ جَعَلَ بَي نَكُم مَّوَدَّةٗ ۡۡۦ ءَ لَي هَ ِ إ ْ ا تَس كُنُو جٗ ا ِل َٰ َز وَ نفُسِكُم أ َ أ َن خَلَقَ لَكُم مِ ن أ قَو م ٖ يَتَفَكَّرُ ونَ ٖ ِل ت َٰ يَ ِلكَ َل َ َٰ ِنَّ فِي ذَ إ ًۚ ٢١ۡۡ وَ رَ ح مَة Yang artinya lebih kurang Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Q.S. Ar-Rum; 21). Akibat hukum dari sebuah ikatan perkawinan tidak hanya berpengaruh terhadap pasangan suami istri saja, namun juga terhadap 1 Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan 2 Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam 2 anak-anak yang dilahirkan dari ikatan perkawinan yang telah dilakukan. Bagi anak-anak yang dilahirkan dari sebuah perkawinan yang sah secara agama maupun negara memiliki akibat hukum yang jelas. Namun tidak sama halnya dengan anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau sebuah perkawinan yang hanya sah menurut agama, akibat hukum yang mengikat mereka hanya terbatas pada ibunya dan keluarga ibunya saja. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1), yang berbunyi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Selain hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayahnya juga seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengahtengah masyarakat. Sehingga hukum harus memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap status dan hak-hak yang ada pada seorang anak, termasuk anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang keabsahannya masih dipersengketakan. Banyak sekali hal-hal yang dapat mengakibatkan nasab seorang anak tidak jelas, permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat adalah seks bebas yang banyak terjadi pada pergaulan anak muda pada zaman globalisasi ini. Bermula dari adat pacaran yang sudah mendekati pada pergaulan bebas sampai berakibat hamil di luar nikah. Perkawinan siri yang banyak dilakukan, dengan alasan pelaku menghindari dosa berzina. 3 Perkawinan siri secara agama memang sah, karena sudah memenui rukun nikah. Akan tetapi dalam hukum Indonesia perkawinan yang tidak dicatatkan di KUA tidak diakui keberadaanya. Hal ini sebenarnya juga menimbulkan efek terhadap perkembangan anak yang dilahirkannya kelak. Sejak Mahkamah Konstitusi mengeluarkan sebuah putusan yaitu Nomor 46/PUU- VIII/2010 pada hari Jum’at tanggal 17 Februari 2012 dari perkara yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono dengan pokok permohonan dari pemohon yaitu mengajukan pengujian Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Setelah adanya permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam salah satu putusannya, memutuskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, tapi juga memiliki hubungan perdata dengan laki-laki sebagai ayahnya dan keluarga ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah. 3 Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 memiliki banyak hal positif yaitu membuat jelas akibat hukum untuk anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Anak-anak tersebut akan mendapatkan hak-haknya sebagai seorang anak dari ayah biologisnya atau ayah kandungnya dan telah dilindungi oleh hukum negara. 3 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, h. 37. Lihat http://pta- banjarmasin.go.id/download.php?arsip=newsflash&id=272 (online 9 Maret 2013). 4 Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa Pasal 43 ayat (1) tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar RI Tahun 1945 Amandemen ke IV. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon dengan salah satu diktumnya mereview ketentuan Pasal 43 ayat (1) tersebut menjadi “anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Putusan Mahkamah Konstitusi itu tentunya memiliki konsekuensi yang sangat luas, bukan saja berhasil menyelesaikan persoalan, yaitu dengan melindungi nasib anak yang status keperdataannya teraniaya, tetapi juga bisa mengundang persoalan baru. Tarik menarik penafsiran yang luas dan bisa menjangkau implikasi hukum di antara keberadaan lembaga pernikahan legal yang melahirkan anak spiritual dengan pergaulan tidak legal yang melahirkan anak biologis sebagaimana terdapat pada Pasal 43 ayat (1) hasil uji materi perlu dipagari agar tidak merambah dan melebar kemana-mana. Persoalannya, janganlah dengan alasan untuk melindungi dan mengakui anak suci yang lahir justru dibuka “pintu” kebebasan yang tanpa batas, termasuk perbuatan bejat orang tuanya. Alih-alih kemudian memunculkan persoalan baru. Seakan-akan lepas dari “sarang macan” kemudian masuk ke “sarang buaya”. Dengan “diubahnya” Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 itu, maka semangat keagamaan yang 5 melekat pada Pasal 2 ayat (1) dan disebut-sebut sebagai pasal yang Islami, seakan-akan “dinafikan”. Padahal keberadaan pasal itu sebenarnya melekat dan merupakan “ikutan” atas Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Selama ini pasal tersebut sudah dipandang tepat dengan kultur bangsa yang agamis, yang menempatkan pernikahan sebagai pintu untuk menisbatkan anak yang ideal kepada ibu-bapaknya, sehingga posisi dan pengakuan anak bukan hanya “anak biologis, tetapi juga anak spiritual”. Anak biologis yang sehat dan anak spiritual yang shaleh yang lahir melalui gerbang pernikahan resmi sesuai dengan agama inilah kelak menjadi pintu masuk membangun keluarga sakinah. Jika dengan alasan untuk melindungi anak itu sampai harus “bongkar pasang” pasal sensitif, yaitu Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tampaknya terlalu mahal. Karena pasal ini sesungguhnya merupakan pasal penguat atas Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang secara materiil memberikan forsi kemajemukan, sehingga bagi orangorang yang beragama Islam pernikahannya harus disesuaikan dengan norma agama sebagaimana telah dirumuskan dalam kitab fiqh. Begitu pula bagi warga Negara non Muslim harus disesuaikan dengan norma agama dan kepercayaannya masing-masing. Dengan demikian, rumusan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 itu tidak lagi memiliki benang merah dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Padahal substansi dan nilai-nilai yang terdapat pada pasal-pasal itu semestinya sinergi, saling mengisi dan menguatkan. 6 Seandainya alasan dan pertimbangan utama lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi itu demi melindungi anak (hifdz al-Nafs) supaya mendapatkan kepastian hukum mengenai hubungan keperdataan, bagi pelaku yang terlanjur kebablasan, dan menghasilkan anak dalam kandungan, yang merupakan argumentasi andalan hakim Mahkamah Konstitusi, yaitu dalam rangka melindungi anak, sebenarnya bisa terbantahkan, karena bagi pelaku hubungan di luar perkawinan seperti perzinaan, perselingkuhan, kumpul kebo yang bertanggungjawab dan berniat baik, ada ruang untuk memberi perlindungan bagi anak yang dikandung ibunya, yaitu: melalui Pasal 53 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang membolehkan kawin hamil: “Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya”. Dari putusan Mahkamah Konstitusi di atas banyak menimbulkan berbagai pandangan yang berbeda-beda mengenai kedudukan anak di luar nikah, tak terkecuali hakim Pengadilan Agama Bengkulu Kelas IA yang berhubungan langsung kepada pencari keadilan yang melakukan itsbat nikah atau ingin melegalkan pernikahan sirrinya. Berdasarkan polemik yang ditimbulkan dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dapat diangkat menjadi suatu penelitian ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul “Kedudukan Anak di Luar Nikah Pasca Putusan MK No. 46/PUU- VIII/2010 Dalam Tinjauan Hukum Islam (Studi Perspektif Hakim Pengadilan Agama Kelas IA Bengkulu)”
Item Type: | Thesis (Undergraduated) |
---|---|
Subjects: | K Law > K Law (General) |
Divisions: | Faculty of Law > Department of Law Science |
Depositing User: | irma rohayu |
Date Deposited: | 11 Sep 2023 03:28 |
Last Modified: | 11 Sep 2023 03:28 |
URI: | http://repository.unib.ac.id/id/eprint/15660 |
Actions (login required)
View Item |