KEBERLAKUAN LARANGAN PENGURUS PARTAI POLITIK MENJADI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) SETELAH PUTUSAN MK NOMOR 30/PUU-XVI/2018 DAN PUTUSAN MA NOMOR 65/P/HUM/2018

Indah, Rosalina and Ardilafiza, Ardilafiza and P.E.Suryaningsih, P.E.Suryaningsih (2021) KEBERLAKUAN LARANGAN PENGURUS PARTAI POLITIK MENJADI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) SETELAH PUTUSAN MK NOMOR 30/PUU-XVI/2018 DAN PUTUSAN MA NOMOR 65/P/HUM/2018. Undergraduated thesis, Universitas Bengkulu.

Text (Thesis) SKRIPSI Indah Rosalina B1A017057.pdf - Bibliography Restricted to Repository staff only Available under License Creative Commons GNU GPL (Software). Download (2MB)

Abstract

Problematika pengaturan yang melarang pengurus partai politik menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kembali menjadi sorotan publik terutama sejak adanya perbedaan putusan antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Mahkamah Konstitusi (MK) menghendaki putusannya berlaku untuk Pemilihan Umum (Pemilu) anggota DPD Tahun 2019 dan Mahkamah Agung (MA) menghendaki larangan tersebut diberlakukan untuk Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024. Perbedaan putusan antara dua lembaga kekuasaan kehakiman ini menjadi permasalahan yang serius jika dilihat dari aspek kepastian hukum, hal tersebut dikarenakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengalami kebingungan untuk memilih putusan mana yang akan digunakan pada Pemilu anggota DPD untuk tahun 2019. Oleh sebab itu, untuk menentukan putusan yang digunakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) jika dilihat dari ilmu hukum dapat dilakukan dengan dua perspektif yaitu dari hierarki peraturan perundang-undangan dengan melihat kedudukan batu uji dan objek peraturan yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK) serta Mahkamah Agung (MA) dan dengan menyerahkan pilihan tersebut kepada KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Actions (login required)

View Item