KOMUNIKASI ANTARPERSONAL PANITERA MUDA GUGATAN ATAU PERMOHONAN TERHADAP PENCARI KEADILAN DALAM MELAYANI PROSEDUR BERPERKARA

Penelitian ini dilatarbelakangi dengan melihat bagaimana komunikasi antarpersonal
antara panitera muda dengan pencari keadilan dalam melayani prosedur berperkara yaitu
dalam proses mengajukan gugatan atau permohonan cerai oleh pencari keadilan kepada
panitera muda gugatan atau permohonan, hambatan apa saja yang terjadi dalam proses
mengajukan gugatan atau permohonan cerai, juga melihat apakah pencari keadilan sudah
memahami prosedur berperkara setelah selesai mengajukan gugatan atau permohonan cerai.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komunikasi antarpersonal panitera muda
gugatan atau permohonan dengan pencari keadilan dalam melayani prosedur berperkara, juga
hambatan pencari keadilan dalam mengajukan gugatan/permohonan cerai, dan untuk
mengetahui apakah pencari keadilan sudah memahami prosedur berperkara setelah
mengajukan gugatan/permohonan cerai. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Metode pengambilan sampel menggunakan
teknik purposive sampling (sampel bertujuan) dimana informan ditentukan sengaja oleh
peneliti berdasarkan pertimbangan tertentu. Jumlah informan dalam penelitian ini yaitu 11
orang, 6 informan pokok dan 5 informan kunci. Metode pengambilan data melalui observasi
partisipan dan wawancara mendalam. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan mei 2011
sampai dengan Juni 2011. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa komunikasi
antarpersonal antara panitera muda gugatan/permohonan dan pencari keadilan akan efektif
karena ada umpan balik (feedback) diantara keduanya. Keterbukaan, empati, sikap
mendukung, sikap positif, dan kesetaraan harus ada di dalam komunikasi antarpersonal
sehingga efektifitas komunikasi antarpersonal yang terjadi antara panitera muda
gugatan/permohonan efektif. Pencari keadilan yang masih awam sebelum mengajukan
gugatan/permohonan
cerai
takut
atau
khawatir
duluan
sebelum
mengajukan
gugatan/permohonan cerai dikarenakan bayangan dari pencari keadilan bahwa prosedur yang
ada pasri rumit dan pengetahuan mereka yang masih awam tentang prosedur berperkara, lain
halnya pencari keadilan yang sudah mengajukan untuk kedua kalinya. Hambatan yang terjadi
ada hambatan psikologis dan hambatan teknis yaitu ketidakterbukaan pencari keadilan dalam
proses prosedur berperkara, sedangkan hambatan teknisnya adalah mengetik ulang surat
gugatan/permohonan yang telah diisi dan dibantu panitera muda gugatan/permohonan,
membayar uang perkara ke bank yang telah ditentukan Pengadilan Agama Kelas I A
Bengkulu, dan waktu yang telah ada di Standar Operasional Prosedur (SOP) berbeda pada
saat mengajukan gugatan/permohonan cerai. Setelah pencari keadilan mengajukan
gugatan/permohonan cerai ke Pengadilan Agama pencari keadilan merasakan bahwa apa
yang merekan khawatirkan tidak seperti apa yang mereka bayangkan, walaupun masih ada
pencari keadillan yang merasa dipersulit karena alamat dia yang tidak jelas sehingga harus
mengurus surat domisili. Melalui penelitian ini diharapkan Pengadilan Agama Kelas I A
Bengkulu bisa menyerdahanakan prosedur secara teknis dan memberikan sosialisasi tentang
prosedur berperkara kepada pencari keadilan ataupun masyarakat awam tidak hanya lewat
website atau selembaran yang ada di Pengadilan Agama tetapi melalui kecamatan/kelurahan.