PELAKSANAAN PENCABUTAN ASIMILASI TERHADAP KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA SELAMA DALAM PEMBIMBINGAN BALAI PEMASYARAKATAN KELAS II BENGKULU

Pelaksanaan pencabutan hak asimilasi di Indonesia menghadapi berbagai
tantangan, khususnya ketika klien pemasyarakatan melakukan tindak pidana
kembali selama masa pembimbingan oleh Balai Pemasyarakatan Kelas II
Bengkulu. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas proses
rehabilitasi serta kecukupan pengawasan institusional. Penelitian ini mengkaji
bagaimana hak asimilasi diberikan dan kemudian dicabut, terutama dalam kasus
residivisme. Dengan pendekatan yuridis empiris, penelitian ini memanfaatkan data
dari peraturan perundang-undangan, observasi lapangan, serta wawancara
terstruktur dengan petugas pemasyarakatan dan klien. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa prosedur pencabutan berjalan sesuai dengan mekanisme
hukum yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan
HAM No. 43 Tahun 2021 dan No. 7 Tahun 2022. Namun demikian,
pelaksanaannya terkendala oleh terbatasnya sumber daya manusia, kurangnya
infrastruktur pemantauan, serta minimnya keterlibatan masyarakat. Hambatan�hambatan ini melemahkan proses reintegrasi sosial dan seringkali menyebabkan
pengulangan tindak pidana. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pencabutan hak
asimilasi memang merupakan respons hukum yang diperlukan terhadap
residivisme, tetapi sistem pemasyarakatan perlu diintegrasikan secara lebih
menyeluruh dengan pendekatan rehabilitatif. Penguatan kapasitas institusional dan
pelibatan masyarakat secara aktif menjadi kunci untuk menjadikan asimilasi
sebagai mekanisme reintegrasi yang berkelanjutan.
Kata Kunci: asimilasi, residivisme, klien pemasyarakatan, kebijakan
pidana, reintegrasi, Indonesia