Sarwono, Sarwit and Rahayu, Ngudining and Purwadi, Agus Joko (2014) FOLKLORE ETNIK SERAWAI DI PROVINSI BENGKI]LU SEBAGAI BATIAN PEMBELAJARAN PENIDIDIKAN KARAKTER BAGI SISWA SEKOLAH DASAR. Project Report. Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Bengkulu, Universitas Bengkulu.
|
Archive (Monograph)
LAPORAN Penelitian.pdf - Bibliography Available under License Creative Commons GNU GPL (Software). Download (2MB) | Preview |
Abstract
Kelompok etnik Serawai merupakan salah satu etnik yang terdapat di Provinsi Bengkulu. Kelompok etnik lainnya adalah Pasemah, Nasal, Mukomuko, Rejang, Lembak, dan Enggano. Kelompok etnik Serawai mendiami desa-desa dalam wilayah Kabupaten Seluma dan Kabupaten Bengkulu Selatan. Dewasa ini kelompok etnik Serawai mendiami wilayah Kabupaten Seluma dan Kabupaten Bengkulu Selatan, serta sebagian wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah. Selan itu sebagai pendatang, kelompok etnik Serawai dewasa ini mendiami beberapa desa di Kabupaten Kepahiang. Bahasa kelompok etnik Serawai termasuk ke dalam kelompok bahasa Melayu Tengah. Bahasa Serawai memiliki varian subdialek (atau beda wicara), yang ditandai dengan perbedaan bunyi /o/ dan /au/ pada akhir kata-kata dari etimon yang sama. Pembagian secara garis besar menunjukkan bahwa wilayah pemakaian dialek /o/ tersebar di desa-desa dalam kabupaten Seluma, sedangkan wilayah pemakaian dialek /au/ meliputi desa-desa dalam kabupaten Bengkulu Selatan. Sebagaimana etnik lainya di Indonesia, etnik Serawai memiliki folklore dalam berbagai tipe, seperti lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan. Pertama-tama adalah yang termasuk ke dalam kelompok folklore lisan, dikenal antara lain nandai atau andai-andai, guritan, serdundum atau kisah kejadian, sedingan, teka-teki, pantun, dan rejung. Nandai atau andai-nadai dapat diartikan cerita pada umumnya yang berbentuk prosa. Sementara itu guritan (kadang disebut juga nandai) berbeda dari cerita prosa umumnya (andai-andai) antara lain karena bentuknya. Guritan berbentuk prosa lirik, memiliki irama ketika dibawakan atau dikisahkan oleh tukang guritan dengan alat bantu gerigiak untuk menopang dagunya. Guritan mengisahkan lingkaran hidup. Prosa rakyat lainnya nandai Kancil, Biyawak Nebat baik dalam varian lisan maupun tulis, yakni dalam naskah beraksara Ulu, koleksi Museum Negeri Bengkulu bernomor MNB 07. 32 dan MNB 07.72 dan Buaya Kuning untuk kelompok fabel. Selanjutnya adalah puisi rakyat, mencakup antara lain teka-teki, pantun, dan rejung. Pantun mencakup berbagai macam jenis menurut isinya. Pantun biasanya disampaikan dalam berbagai kesempatan. Misalnya dalam pertunjukan seni dendang, yaitu pertunjukan berupa tarian yang dimainkan oleh laki-laki dewasa dalam jumlah banyak diringi musik rebana dan biola. Para penari mengenakan peralatan kain panjang, selendang, piring porselein, dan sapu tangan. Seni dendang biasanya dipentaskan dalam acara pernikahan. Selain pantun, ada rejung. Bentuk rejung mirip pantun, tetapi berbeda jumlah satuan sintaktiknya. Jika pantun terdiri dari 4 satuan sintaktik (baris), rejung terdiri dari 5 sampai 8 satuan sintaktik. Selain itu, rejung merupakan komposisi berpasangan: ada pernyataan dan ada jawaban yang merupakan satu kesatuan semantik. Perlu diketahui bahwa rejung merupakan bagian tidak terpisahkan dari pertunjukan tari adat. Adapun folklore sebagian lisan bisa kita dapati antara lain pantun dan rejung sebagaimana dicontohkan di atas karena selain ada unsur bahasa verbal ada juga unsur bunyi instrumen musik dan gerak tari sebagai satu kesatuan. Sebab, pantun lazim juga dilantunkan dalam seni dendang. Dalam konteks ini, ada unsur gerak (tarian) dan unsur bunyi lainnya (musik biola dan rebana) yang menyertai pengucapan pantun dalam irama atau lagu tertentu, di samping perlengkapan lain seperti sapu tangan dan selendang. Rejung dilantunkan secara bersahutan atau berbalasan oleh para penari dalam kesatuannya dengan tari setelah gerakan tertentu, yaitu gerakan nyengkeling. Di sini ada unsur-unsur gerak dan bunyi instrumen kelintang, gong, dan redab, dan juga ada perlengkapan lain berupa kipas. Pertunjukan sekujang termasuk ke dalam folklore sebagian lisan. Sekujang dipertunjukan untuk meradai atau meminta sesuatu dengan cara berkunjung dari rumah ke rumah, pada malam hari, hari kedua bulan Syawal. Rombongan, salah satu di antaranya adalah dukun, mengenakan kebaya dan topeng yang menye-rupai elang, beruang, harimau, babi, atau yang menyerupai hantu, bertongkat, membawa perlengkapan keranjang berisi tumbuhan obat dan sekapur sirih serta dilengkapi obor. Tetapi ada juga pantun-pantun yang hanya diucapkan menurut keadaan atau situasi tertentu, khususnya berkaitan dengan sikap tuan rumah terhadap mereka. Pantun-pantun jenis ini biasanya merupakan respon atau tanggapan atas sikap tuam rumah. Misalnya, jika tuan rumah pelit atau kikir, tidak memberi sedekah apa pun kepada rombongan sekujang, atau benda pemberian itu adalah benda-benda kurang berharga, maka rombongan akan mengucapkan pantun yang berisi sindiran kepada tuan rumah yang kikir itu. Termasuk ke dalam folklore sebagian lisan adalah ritus atau upacara tradisional, antara lain ngindun padi, kayiak beterang, nutup lubang, serta nyialang (mengambil madu lebah pada pohon sialang), mengingat adanya campuran unsur lisan dan bukan lisan. Dalam ritus tradisional yang dimaksud terdapat unsur bahasa lisan yang berupa doa-doa atau jampi atau pernyataan-pernyataan verbal, di samping adanya unsur benda-benda untuk sesaji dan peralatan ritus maupun adanya unsur gerak, misalnya mengelilingi pohon kelapa, atau memukul-mukul batang sialang. Rumah tradisional etnik Serawai dengan arsitekturnya merupakan folklore bukan lisan yang material. Ada bagian ruang yang disebut luan, ada bagian ru-mah yang disebut berugo, ada kamar (bilik) untuk gadis tetapi tidak untuk bujang, dan bagian-bagian lain dengan fungsi sosial yang tertentu, memperlihatkan bahwa rumah mengandung ciri-ciri folklore. Ada tengkiyang (lumbung padi) yang posi- sinya tertentu terhadap rumah tinggal, dan ada juga langgar (tempat menyimpan pusaka) yang tempatnya juga tertentu, biasanya hanya terdapat dalam desa induk dan letaknya di tengah-tengah desa. Luan biasanya digunakan untuk tempat belangsungnya perhelatan penting, seperti melamar, dan mempertunjukan guritan. Dalam perhelatan penting itu, hanya orang yang memiliki hubungan kekerabatan tertentu dengan tuan rumah dan status sosial tertentu dalam masyarakatnya yang boleh duduk di ruang luan itu, sementara yang lainya di ruangan lain. Juga ada ruang yang otoritas perempuan lebih dominan dibanding laki-laki. Semua itu berkaitan dengan fungsi sosial rumah dan bagian-bagiannya dan memperlihatkan ciri folklore. Naskah (manuscripts) beraksara Ulu termasuk ke dalam folklore bukan lisan. Naskah-naskah Ulu Serawai umumnya tidak berkolofon yang memuat identitas penulisnya, dan dengan demikian bersifat anonim. Sejauh yang kami ketahui, teksteks tulis Ulu bersumber dari teks-teks lisan. Terdapat cukup banyak bukti yang memperlihatkan bahwa naskah-naskah Ulu diturunkan dari sumber lisan. Teks rejung yang tertulis dalam naskah MNB 07.18 (Museum Negeri Bengkulu) dapat dipastikan diturunkan dari sumber lisan, sebagai satu varian dari teks rejung. Contoh lain yang memperlihatkan bahwa teks-teks yang tertulis dalam naskah Ulu juga teks-teks yang terdapat dalam tradisi lisan dan/atau dalam ritus tradisional, dapat disimak dari teks serdundum. Teks serdundum adalah teks yang dibacakan atau dibawakan oleh dukun ketika mempertemukan mempelai pria dan wanita dalam rangkaian pernikahan menurut adat etnik Serawai. Sementara itu, naskah L.Or. 5447 (Perpustakaan Universitas Leiden) juga teks serdundum yang mengisahkan terjadinya alam semesta (bumi langit, laut, angin, gunung, tumbuhan, hewan), termasuk terjadinya manusia (Adam). Dalam L.Or. 5447 dikisahkan bahwa semesta dan isinya terjadi dari telur sembilan ruang yang dierami burung. Selama penelitian ini, terkumpul sekitar 40 (empat puluh) folklore lisan, yang mencakupi berbagai kategori atau kelompok, yaitu puisi rakyat dan prosa rakyat. Yang tergolong puisi rakyat antara lain rejung, pantun, rimbaian, dan teka-teki. Adapun yang termasuk ke dalam prosa rakyat, meliputi cerita binatang (misalnya Sang Kancil, Buaya Kuning, dan Biawak Nebat, Nandai Kucing Keciak, sera Kugho ngan Beghuak, di samping dongeng (seperti Gak Gerugak, Sang Beteri dan Degenam Enam), legenda (seperti Puyang Alun Segaro), dan Mite (seperti Asal Mulo Medu dan Rajo Bujang). Dari sejumlah folklore lisan yang terkumpul itu, kami akan memilih dengan mempertimbangkannya berdasarkan aspek ukuran teks, bahasa, da topik atau tema folklore agar memiliki kesesuaian dengan karakteristik siswa sekolah dasar. Berdasarkankriteria tersebut, kami menetapkan 14 (empat belas) prosa rakyat yang mencakup kisah mite, legenda, dan dongeng, serta cerita binatang. Selanjutnya terpilih 35 (tiga puluh lima) bait pantun dan 20 (dua puluh) pasang rejung. Keseluruhannya akan kami satukan dan kami sajikan dalam buku kumpulan folklore kelompok etnik Serawai.
Item Type: | Monograph (Project Report) |
---|---|
Subjects: | L Education > L Education (General) |
Divisions: | Faculty of Education > Department of Indonesian Language and Literature Education |
Depositing User: | 022 Gofar Ismail |
Date Deposited: | 11 Apr 2014 08:35 |
Last Modified: | 11 Apr 2014 08:35 |
URI: | http://repository.unib.ac.id/id/eprint/7495 |
Actions (login required)
View Item |